Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten
Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak
di jalan nasional yang menghubungkan Surabaya-Solo.
Di kecamatan ini terdapat
puluhan situs seluas hampir 100 kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca,
gerabah, dan pemakaman peninggalanKerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat
kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam
kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Cina dari abad
ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat Girindrawardhana berhasil
mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota Majapahit berpindah ke Daha.
Kitab Negarakertagama menyebutkan
deskripsi puitis mengenai keraton Majapahit dan lingkungan sekitarnya, tetapi
penjelasannya hanya terbatas pada perihal upacara kerajaan dan keagamaan. Detil
keterangannya tidak jelas, beberapa ahli arkeologi yang berusaha memetakan ibu
kota kerajaan ini muncul dengan hasil yang berbeda-beda.
Penelitian dan penggalian di
Trowulan pada masa lampau dipusatkan pada peninggalan monumental berupa candi,
makam, dan petirtaan (pemandian). Belakangan ini penggalian arkeologi telah
menemukan beberapa peninggalan aktivitas industri, perdagangan, dan keagamaan,
serta kawasan permukiman dan sistem pasokan air bersih. Semuanya ini merupakan
bukti bahwa daerah ini merupakan kawasan permukiman padat pada abad ke-14 dan
ke-15. Trowulan telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia
UNESCO sejak tahun 2009.
Bajang Ratu pada tahun 1929,
sebelum dipugar
Menurut Prapanca dalam kitab
Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi
dan tebal. Didekatnya terdapat pos tempat para ponggawa berjaga. Gerbang utama
menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura
agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara
terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah
pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui
gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada
sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam
tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang
dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal
para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang
dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi
para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal
raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo
yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang
diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar
istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, bhiksu Buddha, anggota
keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke
luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan
kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai
disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad
ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik.
Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10
meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki
tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi
tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu
(sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau
jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan
tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai; "Sebuah tempat
dimana kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman
Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan
kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam
Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok,
dimana penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman
seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para
penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak
unit permukiman seperti ini.
Penemuan
Reruntuhan kota kuno di
Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Berdasarkan laporan Sir Thomas
Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai
1816, disebutkan bahwa; 'terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil
jauhnya di kawasan ini'. Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat
sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun
demikian, Raffles yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa,
terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan
pulau Jawa'.
Situs Arkeologi
Peta situs Trowulan. Titik
merah adalah situs arkeologi, warna biru muda adalah bekas kanal kuna. Penggalian di sekitar Trowulan
menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan
endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya sungai Brantas
dan aktivitas gunung Kelud. beberapa situs arkeologi tersebar di sekitar desa
Trowulan. Beberapa dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah
dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.
Candi Tikus
Kolam pemandian Candi
Tikus
Candi Tikus adalah kolam
pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling
menarik di Trowulan. Nama Candi Tikus diberikan karena pada saat ditemukan
tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang
ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah
ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat
sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding
selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang
tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai
menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik
tertinggi bangunan ini.
Gapura Bajang Ratu
Tidak jauh dari Candi Tikus, di
kecamatan Keraton berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa
anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad
ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian
atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang Ratu dalam bahasa Jawa
berarti Raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat. Tradisi masyarakat sekitar
mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit.
Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan
mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja
Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda.
Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau
Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan
dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang
dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.
Gapura Wringin Lawang
Wringin Lawang terletak
tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa,
"Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini
terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5
meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya
'Candi Bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin
muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.
Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju
kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli
bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah
gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
Candi Brahu
Di
kecamatan Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan
satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok
bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi
(pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit
dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci
peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga
kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang
dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat candi Brahu terdapat
reruntuhan Candi Gentong.
Makam Putri Cempa
Makam Putri Cempa adalah
sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam
salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa.
Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah
seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang
akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam.
Kolam Segaran
Kolam Segaran
Kolam Segaran adalah kolam
besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama
Segaran berasal dari bahasa Jawa 'segara' yang berarti 'laut', mungkin
masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok
dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada
kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Maclain Pont pada tahun 1926, struktur tanggul
dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa
tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat
sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan. Fungsi asli kolam ini belum
diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa
fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air
bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau.
Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan
kolam latihan renang prajurit Majapahit, disamping itu kolam ini diduga menjadi
bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu
kerajaan.
Candi Menak Jingga
Di sudut timur laut kolam
Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya
tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan
yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran tengah berlangsung. Keunikan
bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan
luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling
menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk
ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China.
Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara
Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan
reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit
dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.
Umpak
Di situs Umpak, terdapat
beberapa alas batu tempat memancangkan tiang kayu. Diperkirakan merupakan
bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu
telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.
Troloyo
Di kecamatan Troloyo ditemukan
beberapa batu nisan bercorak Islam. kebanyakan batu nisan berangka tahun 1350
dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir
di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam
telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit.
Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden
Wijaya, dan setiap Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini.
Situs lainnya
Situs-situs penting lainnya
antara lain:
Balong Bunder
Balai Penyalamatan
Situs pengrajin
emas dan perunggu
Ngliknguk
Candi Kedaton
Sentonorejo
Candi Sitinggil
Rumah Penggalian arkeologi
mengungkapkan lantai bata dan dinding permukiman. Dalam beberapa kasus
ditemukan dua atau tiga lapisan bangunan yang bertumpuk. Permukiman ini
dilengkapi dengan sumur dan saluran air. Ditemukan pula tempat penyimpanan air
dan sumur yang dibatasi susunan bata dan tembikar.
Industri
Banyak perhiasan emas yang
berasal masa ini telah ditemukan di Jawa Timur. Meskipun tidak terdapat banyak
tambang emas di Jawa, impor emas dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi
memungkinkan pengrajin emas untuk berproduksi dan bekerja di Jawa.
Salah satu kecamatan di
Trowulan disebut Kemasan, yang berasal dari kata mas yang berarti
emas. Perhiasan emas serta peralatan pengrajin emas ditemukan di dekat daerah
ini. Mangkuk tembikar kecil yang mungkin pernah digunakan untuk melumerkan
emas, alas tempa perunggu serta batu rata bundar berkaki tiga yang digunakan
sebagai alas untuk menempa dan mengukir logam. Sejumlah besar tanah liat yang
digunakan untuk melumerkan dan mencetak perunggu juga ditemukan di dusun Pakis.
Beberapa perunggu digunakan untuk mencetak uang gobog, koin besar yang
sering digunakan sebagai azimat. Beberapa benda logam lain juga ditemukan,
diantaranya lampu perunggu berukir, wadah air, genta, dan benda-benda lain yang
mungkin digunakan untuk upacara keagamaan dan instrumen musik gendang perunggu.
Benda serupa yang terbuat dari kayu dan bambu masih dapat ditemukan di Jawa dan
Bali. Banyak juga ditemukan peralatan besi yang mungkin didatangkan ke Jawa
karena Jawa memiliki sedikit tambang bijih besi.
Uang dan Pasar
Celengan tanah liat Majapahit
dari abad ke-14 sampai ke-15. Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum
Nasional Jakarta)
Naskah Nawanatya menyebutkan
mengenai pejabat kerajaan yang bertugas untuk melindungi pasar. 'Delapan ribu
keping uang tunai tiap harinya' diterima pejabat ini. Uang tunai yang dimaksud
dalam naskah ini adalah uang kepeng Cina, yang menjadi mata uang resmi
Majapahit sejak tahun 1300, menggantikan sebagian fungsi mata
uang emas dan perak yang telah digunakan selama
berabad-abad. Uang logam atau koin China ini disukai karena tersedia dalam
nilai kecil atau uang receh, sangat cocok untuk transaksi sehari-hari di pasar.
Temuan ini menggambarkan perubahan ekonomi di Trowulan yang ditandai dengan
munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan
upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli. Bukti
penting persepsi masyarakat Jawa abad ke-14 terhadap uang tergambarkan dalam
wujud celengan babi dengan lubang di punggungnya untuk memasukkan uang logam.
Hubungan antara figur babi dengan wadah uang sangat jelas; dalam bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia, kata 'celengan' dapat berarti wadah tepat
menyimpan uang atau menabung. Sedangkan akar katanya sendiri 'celeng' yang
berarti babi hutan. Wadah uang dalam bentuk lain juga ditemukan.
Tembikar
Seni tembikar adalah
kegiatan utama masyarakat Majapahit. Kebanyakan perabot tembikar digunakan
untuk keperluan rumah tangga, seperti untuk memasak atau wadah penyimpanan,
dengan hiasan terbatas pada bentuk garis-garis cat merah. Lampu minyak kelapa
dari tembikar juga umum ditemukan. Tembikar terhalus buatannya umumnya berupa
wadah seperti gentong, guci, dan kendi dengan dinding yang tipis, bentuk yang
indah, serta permukaan halus berkilau warna merah yang didapat dengan cara
pengampelasan baik sebelum atau sesudah pembakaran. Karya tembikar ini
dipastikan sebagai hasil karya pengrajin tembikar yang mahir dan profesional.
Wadah air adalah produk tembikar urban utama Majapahit dan banyak gentong air
bulat ditemukan. Ada pula wadah air berbentuk kotak yang dihiasi motif
pemandangan bawah air dan pemandangan lainnya.
Patung tembikar dari tanah liat
diproduksi dalam jumlah besar dan menggambarkan banyak hal. Mulai dari figur
dewa, manusia, hewan, miniatur bangunan, dan pemandangan. Fungsi pastinya belum
diketahui; mungkin memiliki banyak fungsi. Beberapa figur tanah liat mungkin
merupakan bagian dari kuil kecil tempat persembahyangan di masing-masing rumah
penduduk seperti yang kini ada diBali. Contoh dari barang tembikar dalam bentuk
miniatur bangunan dan hewan juga ditemukan di dekat bangunan suci di gunung
Penanggungan. Beberapa figur lainnya merupakan penggambaran yang jenaka atas
orang-orang asing dan pendatang di Majapahit, mungkin secara sederhana juga
digunakan sebagai mainan anak-anak.
Taman Majapahit
Menjelang akhir tahun 2008,
pemerintah Indonesia menyeponsori eksplorasi besar-besaran di situs yang
dipercaya sebagai bekas lokasi istana Majapahit. Jero Wacik, Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa Taman Majapahit
akan dibangun di kawasan ini dan akan rampung pada tahun 2009. Pembangunan
kawasan ini bertujuan untuk mencegah kerusakan situs Trowulan akibat industri
pembuatan bata rumahan yang tumbuh banyak di kawasan ini. Taman Majapahit
ini memperluas area Museum Trowulan yang telah ada dan menjadi sarana
wisata edukasi dan rekreasi yang bertema sejarah Majapahit.
Akan tetapi, proyek ini
menimbulkan kontroversi dan mengundang protes dari arkeolog dan sejarahwan,
karena pembangunan fondasi bangunan Pusat Informasi Majapahit di situs Segaran
sebelah selatan Museum Trowulan, telah merusak situs arkeologi tersebut.
Struktur tembok bata dan sumur Jobong yang sangat berharga berserakan dan rusak
di lokasi pembangunan. Pemerintah berdalih bahwa metode penggalian yang
diterapkan tidak merusak situs jika dibandingkan dengan metode pengeboran. Sejak
saat itu pembangunan Taman Majapahit ditunda untuk meneliti dampak pembangunan
terhadap situs arkeologi.